BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap
penelitian terhadap karya sastra selalu dilatarbelakangi oleh hal-hal yang
menarik pada karya sastra itu. Begitu pula dengan penelitian terhadap puisi
yang berjudul “Penyapu” karya Dian Sastro.
Karya sastra lahir sebagai hasil inspirasi atau imajinasi penulis ketika
menyikapi gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat.
Menurut
Horatius dalam sudjiman (1991:12) karya sastra bersifat “Dulce et utilite “
yaitu menyenangkan dan bermanfaat. Karya sastra memang harus dapat menyiratkan
hal-hal yang baik dan indah aspek kebaikan dan keindahan dalam satra belumlah
lengkap kalau tidak dikaitkan dengan kebenaran. Kebenaran dan keindahan dalam
sastra hendaknya dikaitkan dengan nilai-nilai yang benar dan indah. Sebaliknya
bila yang dikemukakan itu pengalaman yang sesuai dengan kebenaran tetapi
diungkapkan dengan cara yang buruk, maka tidak akan menarik hati. Oleh sebab
itu orang kurang yakin dan kurang dapat merasakan kegunaanya.
Menurut
Dr.Herman J.Waluyo (1987:1) puisi adalah
bentuk kesusastraan yang
paling tua. Karya - karya besar
dunia yang bersifat
monumental ditulis dalam bentuk
puisi, karya-karya pujangga besar seperti : Oedipus, Antigone, Hamlet, Macbeth,
Mahabarata, Ramayana, Bharata yudha, dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi.
Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra. Di dalam mantra tercermin hakikat
sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu
dimaksudkan oleh penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib.
Dalam perkembangannya di Indonesia, kita kenal berbagai jenis tipografi dan
model puisi yang menunjukkan perkembangan struktur puisi tersebut. Ciri-ciri
struktur puisi dari jaman ke jaman dan dari periode ke periode tidak hanya
ditandai oleh perbedaan struktur fisik, tetapi juga oleh struktur makna atau
tematiknya. Sehingga timbul juga puisi kontemporer yang mana puisi ini sangat
memperhatikan bentuk dari tipografi, diksi, rima, ritmenya. Sastra kontemporer
adalah sastra inkonvensional yaitu menyimpang dari pola karya sastra pada
umumnya oleh karena menyimpang dari pola karya sastra pada umumnya cara
memahami maknanya juga berbeda.
Nyanyian-nyanyian
yang kita dengarkan tidaklah semata-mata hanya lagunya yang indah, tetapi
terlebih lagi isi puisinya mampu menghibur manusia. Puisi-puisi cinta
didendangkan oleh para penyanyi dari berbagai kurun waktu dan anehnya tidak
pernah membosankan karena selalu diperbaharui oleh penyairnya (dalam hal ini
penulis lirik lagu itu). Setiap puisi pasti berhubungan dengan penyairnya
karena puisi diciptakan dengan mengungkapkan diri penyair sendiri. Di dalam
puisi Penyapu lirik memberikan tema, nada, perasaan dan amanat. Rahasia di
balik majas, diksi, imaji, kata konkret, dan vertifikasi akan dapat ditafsirkan
dengan tepat jika kita berusaha memahami rahasia penyairnya.
|
Puisi yang
berjudul “Penyapu” Karya : DIAN SASTRO ini mengisahkan cinta seorang ibu terhadap
anaknya, meski sang anak tersebut banyak sekali melakukan kesalahan dan dosa
dengan kata lain durhaka terhadap ibunya selama hidupnya namun hati seorang ibu
sangatlah mulia cintanya yang tulus terhadap anaknya mengalahkan kemarahannya
sehingga seorang ibu tersebut dengan ikhlas hati memaafkan segala kesalahan
anaknya.
Sejauh
pengetahuan penulis, puisi “Penyapu”
merupakan puisi pilihan dari puisi-puisi karya Gus Mus yang lain seperti : Bila Senja, Tantangan, dan lain
sebagainya yang ditulis oleh Gus Mus karena kata-kata yang ditulisnya terapat
rima dan ritma yang sangat bagus sehingga menghasilkan suatu makna. Dan bagi
Gus Mus sendiri menulis seenaknya seperti tidak memperhatikan bentuk dan tidak
lagi berupaya untuk memperindah kata-kata akan tetapi ingin menyatakan cinta
dan kebenaran.
Dalam
sajak-sajaknya Gus Mus menyarankan manusia untuk memandang segalanya dengan
kacamata ‘cinta’. Puisi yang
berjudul “Penyapu” karya : Dian Sastro
yang penulis analisis ini sangatlah menarik karena puisi tersebut merupakan
puisi kontemporer. Kenapa kontemporer karena dari tipografi tidak menunjukkan
uraian yang berkesinambungan seperti dalam prosa, terdapat pemilihan kata yang
maknanya tepat dan selaras, serta pengulangan kata yang menghasilkan rima,
ritma, ekspresi bahasa yang penuh dengan daya pikat, menggunakan bahasa pilihan
yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuanya secara ketat oleh penyair,
bentuk pengucapanya bahasa yang ritmis yang mengungkapkan pengalaman
intelektual yang bersifat imajinatif yang menimbulkan efek keindahan yang
diungkapkan kebenaranya.
1.2. Masalah
1.2.1. Ruang Lingkup Masalah
Objek penelitian ini adalah karya sastra.
Adapun karya sastra yang dijadikan objek penelitian ini adalah puisi yang berjudul
“Penyapu” Karya
: Dian Sastro. jika kita menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya
berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah,
namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak
diucapkan oleh penyair. Pada pokoknya puisi dibangun oleh dua unsur pokok,
yakni struktur fisik yang berupa bahasa
yang digunakan dan struktur batin/makna, yakni pikiran dan perasaan yang
diungkapkan oleh penyair.
L.A.Richards
menyebutkan adanya hakekat puisi untuk mengganti bentuk batin atau isi puisi
dan metode puisi
untuk mengganti bentuk fisik
puisi. Bentuk batin yang meliputi perasaan (feeling), tema (sense), nada
(tone), dan amanat (intension). Sedangkan bentuk fisik atau metode puisi
terdiri atas diksi (diction), berkata konkret (the concreta word), majas atau
bahasa figumtif (figurative language). Dan bunyi yang menghasilkan rima dan
ritma (rhime and rhitm). (1976:129-225)
Selanjutnya
penelitian ini mengambil struktur fisik
dan bentuk fisik atau metode puisi yang
dijadikan obyek penelitian dalam
puisi “Penyapu” Karya : DIAN SASTRO meliputi : Tipografi, Ritme,
Diksi, Asonansi, Majas, Aliterasi, Rima, dan Makna
1.2.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
penelitian dalam puisi kontemporer yang berjudul “Penyapu” Karya DIAN SASTRO, dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Menganalisis bentuk
fisik/metode puisi dalam
puisi “Penyapu” karya : DIAN SASTRO.
2.
Apakah makna
puisi yang terkandung
dalam puisi “Penyapu” karya
: DIAN SASTRO.
3.
Bagaimanakah
hubungan kontemporer dalam puisi “Penyapu”
Karya : DIAN SASTRO.
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap
penelitian bertujuan untuk menemukan atau mengganti (ekplore), mengembangkan (develop)
dan menguji teori (Extention). Setiap penelitian tentunya tidak lepas dari
tujuan. Dengan adanya tujuan yang telah ditetapkan, makna suatu penelitian akan
lebih terarah sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan apa
yang diinginkan. Berkaitan dengan tujuan tersebut, maka dalam penelitian ini
ada dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum
penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kontemporer dalam
puisi “Penyapu” kiarya : DIAN SASTRO.
1.3.2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan
yang ingin dicapai :
1.
Mendiskripsikan
bentuk fisik atau metode puisi dalam puisi
“Penyapu” Karya : DIAN SASTRO.
2. Mendeskripsikan makna dalam puisi “Penyapu” Karya : DIAN SASTRO.
3.
Mendeskripsikan
Biografi pengarang dalam puisi “Cinta Ibu “ Karya : DIAN SASTRO.
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan
teori merupakan teori yang akan digunakan dalam penelitian teori adalah
seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai
wacana untuk meramalkan atau menjelaskan sesuatu fenomena, teori juga tidak
dapat dilepaskan dari fakta atau data penelitian.
2.1. Pengertian Puisi dan Sastra Kontemporer
Puisi
adalah karya sastra semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra
bersifat konotatif karena banyak
digunakan makna kias dan makna lambang (majas), dibandingkan dengan bentuk
karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif, bahasanya melebihi
banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengkosentrasian atau
pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur
batin puisi juga padat, keduanya bersenyawa secara padu bagaikan telur dalam
adonan roti. ( Reeves, 1978 : 26 )
Menurut J.
Prapta Diharja, SJ Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar
tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang”
dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer
muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak
kreatif lagi.
Sastra
kontemporer merambah pada seluruh jenis karya sastra, seperti novel, puisi, dan
drama. Tokoh-tokoh sastra ini pada zamanya termasuk sastrawan mudah pada tahun
70-an. Munculnya sastra kontemporer merupakan reaksi terhadap sastra
konvensional yang dianggap telah mondominasi eksistensi karya sastra. bahkan
sastrawan mudah merasa “sumpeg”
dengan karya sastra yang telah ada karena merasa terbelenggu daya kreasinya.
Karya
sastra kontemporer adalah sastra inkonvesional
yaitu menyimpang dari pola karya
sastra pada umumnya oleh karena
menyimpang dari pola karya sastra
pada umumnya cara
memahami maknanya pun berbeda. (Nur Faizah, 2001:80)
Adapun
ciri-ciri puisi kontemporer adalah sebagai berikut :
a. Penulisan kata – baris dan bait menyimpang
dari penulisan puisi pada umumnya
b. Terjadi kemacetan bunyi, bahkan hampir
tidak dapat dibaca, karena kadang-kadang hanya berupa tanda baca yang
disejajarkan
c. Banyak pengulangan kata, frasa atau yang
kelompok kata
d.
Menggunakan idiom-idiom yang inkonvesional
e.
Memperhatikan kemerdekaan bunyi
f. Kadang-kadang mencampur bahasa Indonesia
dengan bahasa asing atau daerah
2.2. Konvensional Puisi
2.2.1. Tipografi
Tipografi adalah cara penulisan suatu puisi
sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual. (Aminuddin,
1984 : 60)
Peranan
tipografi dalam puisi selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga
berperanan dalam rangka menciptakan nuansa makna dan suasana tertetentu, selain
itu, tipografi juga berperan dalam menunjukkan adanya satuan-satuan makna
tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.
Menurut Dr.
Herman J. Waluyo (1987:97). Tipografi merupakan pembeda yang penting antara
puisi dengan prosa dan drama, larik-larik puisi tidak membangun periodisitet
yang disebut paragraf, namun membentuk bait, baris puisi tidak bermula dari
tepi kiri dan berakhir ketepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu
terpenuhi tulisan, hal mana tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa.
Ciri yang demikian eksistensi sebuah puisi.
Dalam puisi –
puisi kontemporer karya DIAN SASTRO yang salah satunya berjudul “Penyapu”, tipografinya dipandang begitu
penting, sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata.
Sebagai
contoh penggalan puisi DIAN SASTRO menulis tipografinya sebagai berikut:
PENYAPU
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
Dari
tipografinya nampak jelas bahwa bentuk karangan diatas adalah puisi. Tema yang
diungkapkan juga menunjukkan struktur tematik puisi, karena tulisan diatas
tidak menunjukkan uraian yang berkesinambungan seperti didalam prosa.
Baris-baris yang diciptakan bukan kesatuan sintaktik, namun baris-baris yang
intens (terkonsentrasikan). Sehingga ketika membaca puisi tersebut akan timbul
pertanyaan dalam hati kita
Contoh pusi
A.Mustofa Bisri tersebut menunjukkan bahwa semua unsur puisi dikosentrasikan
untuk menyatakan maksud penyair yakni kebesaran cinta seorang ibu kepada
anaknya, pemilihan kata, bunyi, kiasan, dan sebagainya diabdikan untuk
kepentingan perwujudan makna tersebut.
2.2.2. Diksi
Menurut kamus
istilah sastra kata diksi berarti pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan.
Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang maknanya tepat dan
selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembenaan, peristiwa, dan
khalayak pembaca atau pendengar. (Suroto, 1993 : 112)
Menurut Dr.
J.Waluyo (1987 : 72). Diksi merupakan pemilihan kata yangmana penyair sangat
cermat dalam memilih kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya,
komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu ditengah konteks kata
lainya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Disamping memilih kata
yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya
magis dari kata-kata tersebut, kata-kata diberi makna baru dan yang tidak
bermakna diberi makna menurut kehendak penyair
Ketepatan
pemilihan dan penggunaan kata tersebut meliputi ketepatan makna, ketepatan
bentuk, ketepatan bunyi, dan ketepatan penempatan dalam urutan. Kesemuanya itu
harus merupakan suatu paduan yang pas dan harmonis.
Berikut ini
contoh salah satu baris puisi DIAN SASTRO yang berjudul “Sajak Cinta untuk
Kentut Sutami ”
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penggantian
urutan kata dan penggantian kata-kata akan merusak konstruksi puisi itu
sehingga kehilangan daya ghaib yang ada dalam puisi, dan kata-kata dalam puisi
itu bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu,
kata – katanya juga dipilih yang puitis artinya mempunyai efek keindahan dan
berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari, dengan
pemilian kata yang cermat ini, orang akan langsung tahu bahwa yang dihadapi itu
puisi setelah membaca kata-kata yang dibacanya itu kata-kata yang tepat untuk
puisi. Selanjutnya akan dibahas perbendaharaan kata, ungkapan, urutan
kata-kata, dan daya sugesti dari kata-kata.
2.2.3. Majas
Bahasa
Figuratif (Majas) ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu
dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna.
Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. (Dr.Herman J.Waluyo, 1987
: 83)
Diatas telah
dinyatakan bahwa bahasa figuratif
terdiri atas pengiasan yang menimbulkan
makna kias dan
pelambangan yang menimbulkan
makna lambang. Pengiasan disebut juga simile atau persamaan, karena
membandingkan/menyamakan sesuatu hal dengan hal lain. Dalam pelambangan sesuatu
hal diganti atau dilambangkan dengan hal lain. Untuk memahami bahasa figuratif
ini. Pembaca harus menafsiran kiasan dan lambang yang dibuat penyair baik
lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional.
Gaya Bahasa
yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.G. Tarigan bahwa gaya bahasa ialah cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Kiasan (Gaya
Bahasa) kiasan yang dimaksud di sini mempunyai makna lebih luas dengan gaya
bahasa kiasan karena mewakili apa yang secara tradisional disebut gaya bahasa
secara keseluruhan. Dalam gaya bahasa, suatu hal dibandingkan dengan hal
lainya. Seperti telah dijelaskan tujuan penggunaan kiasan ialah untuk
menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa
puisi. (Dr.Herman J.Waluyo, 1987 : 83)
Banyak kita
jumpai kiasan tradisional yang kita sebut gaya bahasa. Penyair modern membuat
kiasan yang baru dan tidak menggunakan kiasan-kiasan lama yang sudah ada. Dalam
bagian ini akan dibicarakan metafora (kiasan langsung), persamaan (kiasan tidak
langsung), personifikasi, hiperbola (Overstatement), suphemisme
(understatement), sinekdoce, dan ironi.
Pada puisi “Penyapu” DIAN SASTRO telah mengkiaskannya dalam
majas depersonifikasi.
Depersonifikasi
adalah jenis gaya bahasa perbandingan yang melekatkan sifat-sifat suatu benda
tak bernyawa pada manusia atau insan. Jadi di sini perbandingan dibalikkan,
tidak seperti personifikasi. Biasanya gaya bahasa ini terdapat dalam kalimat
pengandaian yang memanfaatkan kata-kata.
Contoh :
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Hal ini
digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan itu, yangmana
seorang anak disini didepersonifikasikan sebagai cahaya.
2.2.4. Rima
Rima adalah
pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi.
Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang
bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini,
pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi. (Dr. Herman
J.Waluyo, 1987 : 91)
Marjorie boulton menyebut rima sebagai phonetic form. Jika bentuk fonetik itu berpadu dengan
ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi (1979:42). Dalam rima terdapat
onomatope, bentuk intern pola bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan
bunyi. Jadi rima tidak khusus berarti persamaan bunyi atau dalam istilah
tradisional disebut sajak. Rima lebih luas lagi karena menyangkut perpaduan
bunyi konsonan dan vokal untuk membangun orkestrasi atau musikalitas. Marjorie
Boulton menyatakan bahwa dengan repetisi bunyi akan diperoleh efek intelektual
dan efek magis. N.J. Kennedy menyebutkan adanya aliterasi dan asonansi
(1971:42). Brooks menyatakan bahwa musikalitas dapat dimasukkan sebagai salah
satu jenis rima (1975:524).
Berdasarkan
letak kata dalam baris puisi “Penyapu” karya
: DIAN SASTRO. Rima terletak pada kata: sebutlah
namaNya, sebutlah namaNya
Dan terdapat
juga rima kembar ialah rima akhir yang letaknya beruntun dua-dua, dalam suatu
bait.
Contoh :
PENYAPU
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
Berdasarkan
bunyinya, puisi “Penyapu” terdapat
rima sempurna ialah rima pada seluruh suku kata akhir
Contoh: -
sekarat - pucat
- cahaya - dirinya
- terpaku - kaku
2.2.5. Ritme
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan
juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frase, dan kalimat. Ritma juga
dapat dibayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang
tersebut irama berupa pemotongan baris-baris puisi sehingga menimbulkan
gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodisitet
yang berkorespondensi, yakni pemotongan frase-frase yang berulang.
Ritma berasal
dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur,
terus-menerus, dan tidak putus-putus (mengalir terus). Slametmuljana menyatakan
bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek,
keras/lemah, yang mengalun
dengan teratur dan
berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan. (Dr. Herman J.Waluyo, 1987 : 91)
Tiap penyair,
aliran, periode, dan angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang
dipandang membentuk ritma tersebut. Berikut ini contoh ritma dalam puisi “Penyapu” karya : DIAN SASTRO
Sebutlah namaNya, sebutlah
namaNya
Dalam puisi “Penyapu”
frase yang dimulai “sebutlah namaNya,
sebutlah namaNya” mengikat
bait-bait sebelumnya, sehingga mempunyai irama yang padu.
2.2.6. Asonansi
Asonansi
adalah gaya bahasa repetisi yang berjudul perulangan vokal pada suatu kata atau
beberapa kata, biasanya dipergunakan dalam puisi untuk mendapatkan efek
penekanan. (Suroto, 1993:130).
Asonansi
ialah persamaan atau pengulangan bunyi vokal yaitu a,e,i,o,u dalam baris yang
sama. (internet).
Contoh : - Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
2.2.7. Aliterasi
Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang
berujud perulangan konsonan suatu kata atau beberapa kata. (Suroto, 1993:130)
Aliterasi
ialah persamaan atau pengulangan bunyi konsonan seperti j,k,l,m,n dan
sebagainya dalam baris yang sama. (internet).
Contoh: - Adinda tersayang kakanda tercinta
Ah ketut
Rumput liar tumbuh di manapun
2.2.8. Makna
Makna dalam puisi, kata-kata, frasa, dan
kalimat mengandung makna tambahan atau makna konotatif. Bahasa figuratif yang
digunakan menyebabkan makna dalam baris-baris puisi itu tersembunyi dan harus
ditafsirkan. Proses mencari
makna dalam puisi merupakan proses pergulatan terus-menerus. Bahasa puisi
adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Sebuah kata memiliki kemungkinan makna ganda. Kata
yang nampaknya tidak bermakna diberi makna oleh penyair. Makna kata mungkin
diberi makna baru. Nilai rasa diberi nilai rasa baru. Tidak semua kata, frasa,
dan kalimat bermakna tambahan. Kalau keadaanya demikian, puisi akan menjadi
gelap. Sebaliknya, puisi tidak mungkin tanpa makna tambahan (transparant)
sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi.
Kata-kata
dalam puisi tidak tunduk pada aturan logis sebuah kalimat, namun tunduk pada
ritma larik puisi. Hal ini disebabkan karena kesatuan kata-kata itu bukanlah
kalimat akan tetapi lark-larik puisi itu. Kata-kata tidak terikat oleh struktur
kalimat dan lebih terikat pada larik-larik puisi. Dalam larik-larik puisi yang
lebih pendek, kesatuan kata atau kata-kata yang mandiri membentuk makna puisi.
(Dr. Herman J.Waluyo, 1987:103)
Bahasa
figuratif, pengimajian, kata konkret, dan diksi khas dari penyair menyebabkan
pembaca puisi harus mencari makna yang hendak disampaikan penyair dengan cara
lebih sulit daripada makna di dalam bahasa prosa. Pengetahuan tentang latar
belakang penyair akan mempermudah mengungkapkan makna yang bersifat khas itu.
Lima kode bahasa
menurut Rolland Barthes dapat membantu pembaca memahami makna karya sastra.
Kode-kode itu melatarbelakangi makna karya sastra. Meskipun pandangannya itu
diterapkan untuk prosa, namun prinsip-prinsipnya dapat digunakan untuk puisi
juga. Lima kode itu, ialah :
1.
Kode hermeneutik (penafsiran)
Dalam puisi, makna yang hendak
disampaikan tersembunyi, menimbulkan tanda tanya bagi pembaca. Tanda tanya itu
menyebabkan daya tarik karena pembaca penasaran ingin mengetahui jawabanya.
Misalnya, dalam puisi “Penyapu”,
pembaca akan bertanya apa maksud penyair dengan judul itu? Apa makna Penyapu. Penyapu
yang bagaimana dan untuk siapa. Dengan latar belakang pengetahuan yang cukup
tentang bahasa sastra, pembaca akan mampu menafsirkan makna puisi itu. Begitu
pula menghadapi baris-baris/baitnya seperti:
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
Siapakah nama itu? Kenapa si
anak gelepotan lumpur dan darah? Sia-sia yang bagaimana? Apa maksud sebelum
semuanya terpaku kaku?
2. Kode proatretik (perbuatan)
Dalam karya sastra perbuatan
atau gerak atau alur pikiran penyair merupakan rentetan yang membentuk garis
linear. Pembaca dapat menelusuri gerak batin dan pikiran penyair melalui
perkembangan pemikiran yang linear itu. Baris demi baris membentuk bait. Bait
pertama dan kedua serta seterusnya merupakan gerak berkesinambungan. Gagasan
yang tersusun merupakan gagasan runtut. Jika dipelajari dengan seksama, maka
kita akan menemukan kesamaan gerak batin penyair yang sama dalam berbagai
puisinya. Ciri khas itu akan nampak karena seorang penyair mempunyai metode
yang hampir sama dalam proses penciptaan puisi. Sulit kiranyan seorang penyair
mengubah teknik pengucapan puisi yang sudah dimilikinya. Seperti halnya dalam
puisi “Penyapu” karya: Dian Sastro sebagai berikut:
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
Dari contoh puisi diatas jika
diperhatikan dengan seksama, maka akan dapat kita temukan sesuatu gerak batin
penyair dalam hidupnya
3. Kode semantik (sememe)
Makna yang kita tafsirkan
dalam puisi adalah makna konotatif. Bahasa kias banyak kita jumpai. Sebab itu,
menafsirkan puisi berbeda dengan menafsirkan prosa. Menghadapi bentuk puisi,
pembaca sudah harus bersiap-siap untuk memahami bahasanya yang khas. Misalnya
dalam menafsirkan makna sebuah bait puisi DIAN SASTRO “Penyapu” ini :
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
Menghadapi kata-kata durhaka, sekarat, gelap dan pucat, cahaya,
dosa-dosamu, namaNya, lumpur dan darah, sia-sia, terpaku, serta kaku, dari
sini dapat dilihat bahwa yang dikemukakan penyair bukan makna harfiah. Ada kias
lambang sebagai semantik bahasa puisi. Sebagai contoh, penyair mengungkapkan
kata /seorang ibu mendekap anaknya yang
durhaka saat sekarat/ maksudnya adalah seorang ibu yang dengan sayangnya
mendekap anaknya saat nyawanya diujung tanduk meski anaknya durhaka. /airmatanya menetes-netes di wajah yang gelap
dan pucat/ maksudnya adalah seorang
ibu yang menangis dengan meneteskan airmata di dalam kesedihan dan kedukaan. /anaknya yang sejak di rahim diharap-harapkan
menjadi cahaya/ maksudnya adalah seoarang ibu yang sangat mengharapkan
anaknya menjadi sosok yang baik yang dapat memberikan sinar kebahagiaan dan
bisa menjadi pelindungnya. /anakku jangan
risaukan dosa-dosamu kepadaku/ maksudnya adalah janganlah kamu berfikir
tentang semua kesalahan yang kamu perbuat pada ibu. /sebutlah namaNya/ maksudnya adalah disini kata namaNya terdapat
sufiks –Nya sehingga nama tersebut ditujukan kepada dia Tuhan sang pencipta
alam semesta. /mulut gelepotan lumpur dan
darah/ maksudnya adalah mulut yang
penuh dengan kotoran lumpur dan darah karena luka akibat suatu kejadian.. Kata
/terdengar desis mirip upaya sia-sia/
maksudnya adalah berusaha berkata dengan suara pelan/bisikan akan tetapi semua
itu sia-sia (percuma). /sebelum semuanya
terpaku,kaku/ maksudnya adalah sebelum nafas dan darah yang mengalir
ditubuh itu berhenti dan mati.
4. Kode Simbolik
Kode semantik berhubungan
dengan kode simbolik; hanya kode semantik lebih luas. Kode simbolik lebih
mengarah pada kode bahasa sastra yang mengungkapkan/melambangkan suatu hal
dengan hal lain. Makna lambang banyak kita jumpai dalam puisi.
Peristiw-peristiwa yang dilukiskan dalam puisi belum tentu bermaksud hanya
untuk bercerita, namun mungkin merupakan lambang suatu kejadian. Bahkan mungkin
merupakan lambang kejadian yang akan datang. Misalnya, puisi “Penyapu” merupakan lambang dari kasih
sayang seorang ibu terhadap anaknya. Secara khusus, kata-kata dalam puisi
tersebut merupakan suatu lukisan peristiwa yang dialami seorang ibu yang
penyabar, pemaaf terhadap seorang
anak yang durhaka, seperti halnya
cerita rakyat “Malin Kundang” telah menjadi lambang anak durhaka dalam dongeng
dunia.
5. Kode budaya
Pemahaman suatu bahasa akan
lengkap jika kita memahami kode budaya dari bahasa itu. Banyak kata-kata dan
ungkapan yang sulit dipahami secara tepat dan langsung jika kita tidak memahami
latar belakang kebudayaan dari bahasa itu. Memahami bahasa dieperlukan
“cultural understanding” dari pembaca. Misalnya “ Penyapu” dalam puisi DIAN SASTRO kata Penyapu sebenarnya mudah
sekali diterjemahkan dalam bahasa Inggris akan tetapi karena sistem budaya yang
ada di Indonesia sehingga kata tersebut tidak boleh dirubah. Kata tersebut
telah mewakili suatu makna dalam budaya di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Berdasarkan
analisis terhadap puisi “Penyapu” karya :
DIAN SASTRO ini terdapat suatu
hubungan kontemporer dimana puisi tersebut merupakan puisi yang
inkonvensional. Karena pada puisi Penyapu
penyair menulisnya dengan bentuk tipografi yang nampak jelas. Tema yang
diungkapkan juga menunjukkan struktur tematik puisi, karena tulisan diatas
tidak menunjukkan uraian yang berkesinambungan seperti didalam prosa.
Baris-baris yang diciptakan bukan kesatuan sintaktik, namun baris-baris yang
intens (terkonsentrasikan). Sehingga akan menimbulkan pertanyaan dalam hati
kita. Disamping itu pemilihan kata-katanya sangat cermat dan tepat, bunyi dalam
rima dan ritmenya sangat selaras sehingga menghasilkan suatu makna yang
selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembenaan, peristiwa, dan
khalayak pembaca atau pendengar.
Disamping
memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan
kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut, kata-kata diberi makna baru
dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair.
Puisi Penyapu
juga dibangun oleh unsur lain yakni asonansi, aliterasi dan gaya bahasa
(Majas), Diatas telah dinyatakan
bahwa bahasa figuratif
(majasa) terdiri atas
pengiasan yang menimbulkan makna
kias dan pelambangan
yang menimbulkan makna lambang. Pengiasan disebut juga simile
atau persamaan, karena membandingkan/menyamakan sesuatu hal dengan hal lain.
Dari
beberapa konvensional puisi atau struktur fisik dalam puisi Penyapu memiliki
hubungan yang erat. Kekonvensionalan tersebut sangat berkaitan dengan totalitas
makna serta adanya kesatuan dari seluruh isi cerita. Hal dan keterjalinan itu
nampak dari bentuk tipografi, peristiwa maupun selalu bergerak sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan cerita hal ini didasarkan bukti dari puisi “Penyapu”
karya DIAN SASTRO sebagai berikut :
Penyapu
Penyapu yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
DAFTAR PUSTAKA
`
Dr. Herman J. Waluyo, 1987. Teori dari Apresiasi Puisi. Jakarta :
Erlangga.
Aminuddin, 1984. Pengantar Memahami Unsur-unsur dalam Karya
Sastra. Malang : IKIP Malang.
Suroto, 1993. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra
Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Nur Faizah dkk,
2001. Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jombang : Kinara Offset.
DIAN SASTRO, 2000.
Sajak-sajak Cinta Gandrung. Rembang :
Yayasan Al-Ibriz.
Aplikasi Internet.
PUISI
Penyapu
Penyapu
yang ku kenali dulu
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
adalah penyapu yang menggiring sampah
menuju destinasi.....
Penyapu yang ku kenali dulu
dikenderai ahli-ahli sihir
menuju destinasi.....
Penyapu yang kukenali kini
menggiring satu wawasan
pembersihan kawasan
memartabat suatu daulah
pembersihan minda dan akal
menuju satu destinasi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar