Well come....

Awenkanwani.blogspot.com

Rabu, 04 April 2012

TUGAS SOSIOLINGUISTIK


SINOPSIS NOVEL “MENYEMAI CINTA DI NEGERI SAKURA” KARYA LIZSA ANGGRAENY DAN SERIYAWATI
Cerita menggambarkan tentang kehidupan Mrs A atau Ummu S, hidup di negeri Sakura dengan keislamannya. Menikah dengan pria pilihannya dengan harapan hidup berkecukupan dan bahagia. Namun, ternyata kebahagiaan itu hanya semu. Istri identik dengan pembantu bagi suami. Perlakuan kasar secara fisik/ melalui ucapan yang melukai hati. Sering terlontar dari laki-laki yang menjadi Qawwam baginya. Perintah-perintah otoriter yang mutlak tak dapat dilanggar. Lemahnya iman dan tak kuatnya dasar pijakan Ruhiyah, menyebabkan dia terombang ambing dalam kehidupan.
Ia seorang ibu rumah tangga, yang dianggap remeh ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Melewati tahun pernikahan ke-8 sudah tak terhitung berapa banyak pertanyaaan sejenis tapi Ummu S belum bisa menjawab.
Masalah klasik ketidakcocokan antara mertua dan menantu sering terjadi setelah pernikahan. Yang awalnya begitu baik hati dan dirasa lebih perhatian daripada ibu kandungnya sendiri.
Seiring berjalannya waktu. Suatu hari ketika memandang cermin. Ummu S merasa banyak kekurangan dalam tubuhnya. Hidung yang tidak mancung *(pesek = Bahasa Jawa), bulu mata yang tidak lentik, serta berbagai titik minus lainnya yang menimbulkan kekecewaan dalam diri, menimbulkan organ-organ yang tak menghargai kondisi apa adanya. Hingga ketika mencuci piring, tanpa disadari ibu jari tangan kirinya terluka oleh pecahan gelas yang ditumpuk bersama dengan piring kotor. Sehingga dia harus dirawat ke UGD. Ternyata menurut ahli syaraf, otot ibu jari tangan kirinya ada yang putus. Maka dari itu telapak tangan kirinya harus di gips selama 3 pekan. Dan perlu waktu kira-kira 3 bulan untuk mengembalikan fungsi otot. Ini semua terjadi akibat dirinya yang tidak mensyukuri anugerah yang ada.
Sekian lama Ummu S memakai jilbab membuat suaminya risih dan menyuruh untuk melepas jilbab. Ummu S hanya diam dan dengan ragu dia menuruti perintah suami. Semakin lama akhirnya dia gerah dengan perbuatan buka tutup jilbab. Merasakan dikejar oleh dosa, merasa mempermainkan Allah. Karena takut akan laknat Allah maka ia pun menentang perintah suaminya dan kembali berjilbab sepenuhnya. Tiap malam memanjatkan dan memohon kekuatan dan kesabaran dan petunjuk-Nya.
Meskipun hidup jauh dari suasana keislaman, seperti tidak terdengarnya suara adzan dari masjid-masjid, mushola ataupun langgar, ceramah-ceramah keagamaan di TV atau majelis taklim, tetapi mereka yang minoritas senantiasa berusaha saling menjaga keimanan dan membuat beragam kegiatan. Bahkan di negeri orang inilah rasa persaudaraan sesama perantauan terasa mudah terjalin dan terikat kuat.
Setelah tinggal di Jepang, tidak sedikit yang makin meningkat keimanannya dan memakai jilbab. Bahkan bisa mengajak teman-temannya sesama orang Indonesia memakai jilbab dan juga membuat orang Jepang menjadi tertarik dengan agama islam.
Di Nagoya, kota tempat tinggal Ummu S ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan tiap hari ahad pekan kedua. Acara itu diadakan dirumah salah satu keluarga secara bergantian tiap bulannya. Lalu tiap hari Ahad di akhir bulan ada pengajian umum yang sebelumnya dimulai dengan acara mengaji untuk anak-anak.
Selain itu, untuk menambah jam belajar dan bermain bersama anak-anak, ada pula kegiatan mengaji tiap hari Sabtu di Masjid Nagoya. Juga ada kegiatan mengkaji Al- Qur’an bagi ibu-ibu. Kelompok mengaji Al- Qur’an ada beberapa kelompok berdasarkan wilayah tempat tinggal karena tempat tinggal mereka tersebar.
Untuk mereka para muslimah ada milis Fahima sebagai wadah forum silaturahmi muslimah di Jepang yang mencakup sampai ke negara-negara lain. Ada muslimah dari Perancis, Singapura, Qatar, Amerika dan lain-lain.
Meskipun hidup diluar negeri yang fasilitas keagamaannya masih kurang daripada di Indonesia, bukan berarti kehausan mereka akan belajar dan menambah pengetahuan tentang agama Islam tidak tersalurkan. Justru dengan adanya fasilitas teknologi canggih, komunikasi antara mereka bisa berjalan lancar. Ditambah dengan tersedianya transportasi yang beraneka ragam dan tepat waktu, membuat mereka mudah untuk melangkah kaki menuju majelis ilmu. Dan yang lebih penting lagi, bukan berarti mereka akan dengan mudah berganti agama.
ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
Dalam karya sastra, nilai-nilai pendidikan yang disampaikan penciptaannya dimuat didalamnya. Hasil karya sastra, pengarang tidak hanya ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya saja tetapi secara implisit juga mempunyai maksud dorongan, mempengaruhi pembaca untuk memahami, menghayati dan menyadari masalah serta ide yang diungkapan termasuk nilai-nilai pendidikan yang terdapat didalam karya sastra tersebut. Pembaca bisa mengambil nilai-nilai pendidikan yang terdapat didalamnya.
Pembaca karya sastra bisa mengambil pelajaran serta hikmah, nilai-nilai dan contoh-contoh dari karya sastra yang dibacanya dengan penuh kesadaran sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan dan pengajaran sastra jika ditangani dengan bijaksana, akan membawa kita dan anak-anak didik ke dalam kontak dengan pikiran-pikiran dan kepribadian-kepribadian besar dunia. Para pendidik dan pemikir besar dari berbagai zaman.
Unsur kepribadian dapat dilatih melalui pendidikan dan pengajaran sastra, meliputi:
1.    Penginderaan(Sensory).
            Dalam pengambangan aspek ini studi sastra dapat digunakan untuk memperluas jangkauan dari semua unsure penginderaan klasik yaitu pengliatan, pedengaran pengecap, pembau, sentuhan, perabaan, pembeban.
2.    Kecerdasan(intellect).
            Bentuk pendidikan yang paling bernilai adalah yang telah mengajarkan para siswa untuk memecahkan masalah bagaimana memperoleh kebenaran-kebenaran yang memungkinkan. Untuk dapat menguji derajat atau peringkat keberhasilannya. Adapun sastra mengandung hal-hal yang menjadi tuntutan dalam dunia pendidikantersebut.
3.    Perasaan(feel)
            Sastra memberikan kepada kita sesuatu cakupan situasi dan kegawatan yang luas yang seakan-akan menstimulasi beberapa jenis respondensi emosional dan juga bahwa dalam keseluruhannya penulis sastra lazim menyajikan situasi-situasi itu dalam cara-cara yang memungkinkan kita untuk mengeksplorasi, mengkaji dalam perasaan kita dalam suatu cara kemanusiaan yang layak.
4.    KesadaranSosial
            Sastra berfungsi menghasilkan suatu kesadaran konprehensip terhadap orang lain. Penulis-penulis sastra modern, termasuk penulis sastra Indonesia, telah banyak berbuat untuk merangsang minat dan simpati pada masalah-masalah kegagalan, ketidak beruntungan, ketertindasan, ketidakberhasilan, pengucilan. Rasa hina dan sakit hati, yaitu mereka yang memerlukan protes.
5.    KesadaranReligius
Baik suka maupun tidak suka, apakah kita tahu betul atau tidak, segala pikiran dan perbuatan kita secara rutin didasarkan beberapa asumsi positif dan semua kecerdasan manusia pada abad ini, termasuk manusia Indonesia akan selalu didasarkan pada pragmatisme kehidupan mereka yang lebih daripada diatas landasan rohaniah atau spiritual yang rapuh.
Berdasarkan uraian diatas, nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”dapat dikaji dan dianalisis.
Unsur Ekstrinsik novel adalah unsur yang berasal dari luar cerita. Meliputi nilai religi, nilai susila atau nilai estetika serta nilai sosial dan sebagainya.
Karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang tergantung pada pengertian yang didapat pembaca lewat karya sastra yang dipahami. Nilai-nilai pendidikan tersebut didapat dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” meliputi :
1. Nilai Religi/ Nilai Agama
Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya.
Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Kesadaran religius dalam upaya mengembangkan kepribadian melalui pendidikan dan pengajaran.
Nilai religius dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” antara lain :
Salah satu keindahan itu adalah saya semakin menghargai gaungan gema adzan. Ketika masih berada ditanah air, dimana suara adzan sangat mudah di dengar.
Di bulan Ramadhan amalan sunnah dihitung sebagai amalan fardlu diberi ganjaran 700X lipat. Puasa fisabilillah akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun. Puasa Ramadhan akan memberi syafaat di yaumil akhir.
Terbukanya pintu surga Al-Rayyan bagi orang-orang yang berpuasa. Juga menghapus dosa-dosa yang lalu. (Lizsa, 2007: 188)
Kegiatan para tokoh memberi nilai religius dapat terlihat dalam kutipan berikut:
…..Allah membimbingnya untuk datang ke sebuah pengajian keliling di daerahnya….(Lizsa,2007:17-18) Di Nagoya kota tempat tinggal saya ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan tiap hari ahad pekan kedua. Acara itu diadakan dirumah salah satu keluarga secara bergantian tiap bulannya. (Lizsa, 2007: 192)
2. Nilai Estetika
Semua karya sastra atau karya seni memiliki keindahan apabila terdapat keutuhan antara bentuk dan isi, keseimbangan dan keserasian penampilan dari karya seni yang lain. Nilai keindahan akan tampak lebih relatif, jika yang kita perhatikan adalah penilaian atau penghargaan terhadap sastra itu.
Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi sentuhan estetis dengan mengembangkan aspek rasa ini demi sempurnanya aspek keindahan dalam sastra, yang dihubungkan dengan tehnik cerita, gaya bahasa, unsur-unsur yang lain sebagai variasinya. Nilai estetika adalah nilai kesopanan dan budi pekerti atau akhlak. Nilai susila adalah yang berkenan dengan tata krama atau disebut beradab.
Nilai susila atau estetika dapat terlihat dalam kutipan berikut :
“Saya mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari sang anak tersebut. Mimik sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan berkata,” Maaf…maafkan anak saya…maaf ,”ujar sang ibu.
Bagi setiap orang yang melakukan suatu kesalahan hendaknya segera mengucap maaf, itu adalah cara berperilaku yang baik. Terdapat kata membungkukkan badan, bagi orang Indonesia terutama Jawa itu menunjukkan sikap yang sopan dan menghormati orang lain.
3. Nilai Sosial
Keadaan seseorang sebagai individu tidak terlalu penting. Tetapi individu ini secara bersama membantu masyarakat yang selaras akan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi masing-masing individu. Manusia tidak bisa lepas hidup sendiri terpisah dari yang lainnya. Lebih-lebih bila seseorang belum mampu menyelesaikan kebutuhan jasmaninya sendiri walaupun itu yang paling sederhana, seperti seorang anak kecil yang belum mampu mengerjakan sendiri
untuk mencukupi kebutuhannya seperti misalnya mandi, makan, berpakaian, dan sebagainya tanpa bantuan orang lain baik itu ayah, ibu maupun kakaknya.
Dalam novel ini banyak terlihat interaksi sosial yang terjadi. Antara lain : suasana kebersamaan, saling membantu, menghargai, menghormati dan menyayangi satu sama lain dalam mengerjakan sesuatu akan menghasilkan hal positif. Hal inilah yang dinamakan nilai kerukunan atau nilai sosial.
Manusia perlu dihargai, dihormati dan diperlakukan secara layak. Sudah sepantasnya kita menghargai jerih payah dan keinginannya untuk membantu tugas rumah tangga meski tanpa adanya limitasi pekerjaan. (Lizsa, 2007: 74)



4. Nilai Moral
Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adapt kebiasaan dimana individu itu berada.
Pesan-pesan moral yang terdapat pada novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” ini bisa diambil setelah membaca dan memahami isi ceritanya. Penulis menemukan segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu disampaikan, sebab kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan diteladani. Demikian segi negatif perlu juga diketahui serta disampaikan kepada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan.
Nilai Moral dalam novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura, Jadilah seseorang yang menyemai cinta pada-Nya meski berada dalam perantauan.






A.    SINOPSIS NOVEL GADIS PANTAI

Berasal dari sebuah perkampungan nelayan di Pantura, Gadis Pantai baru berusia empat belas tahun dan belum menstruasi ketika seorang priyayi Jawa, pembesar santri setempat, mengambilnya sebagai istri percobaan. Ya, istri percobaan sebelum ia mengambil istri “sebenarnya” yang datang dari kalangan yang sederajat. Dan Gadis Pantai bukanlah yang pertama yang mengalaminya. Di rumah si Bendoro (priyayi itu), Gadis Pantai diajari sholat dan banyak hal lainnya yang terkait dengan gaya hidup para priyayi.
Tentu saja ada yang tak suka dengan keberadaan Gadis Pantai di rumah Bendoro, terutama dari keluarga besar si Bendoro. Mereka mengharapkan Bendoro secepatnya mengambil istri yang sederajat. Seorang Bendoro Demak yang menginginkan putrinya kawin dengan si Bendoro akhirnya mengutus Mardinah untuk menghabisi Gadis Pantai, dengan imbalan Mardinah akan diangkat menjadi istri kelima. Rencana dilaksanakan ketika Gadis Pantai pulang ke rumahnya di pinggir pantai, namun gagal. 
Gadis Pantai kemudian hamil. Dan kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan. Tapi 3 bulan kemudian, Gadis Pantai “diceraikan”, dipulangkan dengan paksa dan anaknya harus ditinggal di rumah Bendoro. Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro. Malu dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi ia berbelok ke selatan, ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.

B.     ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK NOVEL

Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, unsur-unsur ekstrinsik dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dapat dianalisis dari berbagai segi, yaitu: latar belakang pengarang, segi sosial dan budaya, dan aspek fungsi sosial sastra.

1. Latar Belakang Pengarang
Dalam hal ini stastus sosial, ideologi dan lain-lain menyangkut Pramoedya Ananta Tioer dilihat, diperlakukan sebagai individu atau sebuah bagian dari sistem. Dalam kasus ini, Pramoeya diperlakukan sebagai bagian dari sebuah sistem yaitu menyangkut keterlibatannya dalam LEKRA.
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara—sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun dalam penjara Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusakambangan Juli 1969-16 aguatus 1969, pulau Buru Aguatus 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan.
Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, sampai 1999 dan wajib lapor ke Kodim jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih satu tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun dari menulis. baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dibakar.
Pramoedya pernah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) karena itulah karya-karya Pramoedya banyak mengusung aliran realisme-sosialis yang merupakan nafas para Marxis ketika berkarya.

2. Segi sosial Budaya
Sebagai cerminan masyarakat, sastra dilihat sejauh mana sastra dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilakan dalam karya sastra itu (Sapardi, 2002:5).
Dari novel Gadis Pantai, didaptkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel ini ditulis. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi. Kaum abangan adalah penganut kejawen yang sangat percaya akan eksistensi makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan manusia,  seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, dan magis.
Tipe kedua dari masyarakat Jawa yaitu Santri, adalah komunitas yang menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara lebih murni, dengan melaksanakan secara cermat dan teratur asas-asas peribadatan Islam seperti shalat, puasa, dan haji termasuk pengelolaan organisasi sosial dan politik Islam. Kelompok ini biasanya dihubungkan dengan elemen pedagang, meskipun ada sebagian kecil dari golongan petani.
            Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang berasal dari aristokrat, yang kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun. Mereka ini tidak menekankan kepada elemen animistik dan sinkretinisme Jawa yang dianut kaum abangan dan tidak juga menekankan kepada elemen Islam sebagaimana yang dipraktekkan kaum santri, tetapi lebih menitikberatkan kepada elemen-elemen Hinduisme yang secara luas dihubungkan dengan unsur-unsur birokratis.(Haryanto, 2006)
            Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan, mereka hidup berkecukupan, seperti terlihat dari cuplikan dialog: “Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (gadis Pantai, hal. 54), dan pada cuplikan dialog: ”Bagi orang sudah tua seperti sahaya ini, siapa yang beri makan di sana? semua pada hidup susah.” (Gadis Pantai, hal. 55). Kemudian pada cuplikan dialog: ”Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.” (Gadis Pantai, hal. 68).
3. Fungsi Sosial Sastra
            Fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, etik, kepercayaan dan lain-lain (Atar Semi, 56). Karya sastra dianggap memiliki beberapa fungsi sosial (Sapardi, 2004:5-6), antara lain:
  1. Karya sastra dianggap sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup juga pendirian bahwa karya sastyra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
  2. Karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan ”seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktek melariskan dagangan untuk mencapai bestseller.
  3. Karya sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Pertentangan kelas yang menjadi tema besar novel Gadis Pantai memang sudah lama ada di masyarakat Indonesia, menggunakan paham pusat-daerah, wong gedhe-wong cilik, elit-rakyat kecil, dan seterusnya.





TUGAS ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK CERPEN/NOVEL
SINOPSIS NOVEL DAN ANALISIS UNSUR EKSTRINSIKNYA BERJUDUL “SEANDAINYA AKU BOLEH MEMILIH”
A.    SINOPSIS NOVEL
Novel ini diawali dengan pertemuan antara Bandi, Haris dan Riri. Pertemuan itu menghasilkan cinta segitiga dimana Riri telah menikah dengan Bandi yang keadaannya sangat lemah, tapi Riri juga berhubungan dengan Haris, dimana Haris adalah kakak Bandi. Dari hasil hubungan Riri dengan Haris, Riri mempunyai anak yang harus ditinggalkan sejak dia masih bayi.
Berawal dari hal tersebut, mulailah konflik antara Riri, Haris, Bandi dan Ibunya yaitu tentang kebenaran siapa ibu Doni. Dan akhirnya Bandi pun mengetahui kalau Riri telah berkhianat dengan kakaknya sendiri. Masalah pun belum selesai dimana Tanti tidak mau menyerahkan Doni kepada ibunya dan dia nekat bunuh diri.
"Bandi bukan mainan yang cocok untukmu. Aku tahu sekali cewek macam
apa kamu ini. Kamu bertukar pacar seperti ganti baju!". "Jangan samakan aku dengan cewek-cewekmu! Barangkali cinta cuma lelucon di kepalamu. Tapi aku betul-betul mencintai Bandi!". "Untuk berapa lama? Sampai kamu bosan bolak-balik mengantarnya ke dokter?" Seorang gadis binal bertemu dengan seorang pemuda berandal. Mereka sama-sama mengasihi Bandi. Dengan cara masing-masing mereka berusaha membahagiakannya. Kemelut timbul ketika dari padang kebencian tumbuh setitik benih cinta. Dan tambah rumit tatkala muncul perempuan yang kedua. Perempuan yang tidak mampu membela dirinya sendiri, tapi sanggup menjebloskan seorang laki-laki ke dalam penjara.

B.     ANALISIS UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
Selain unsur-unsur instrinsik dalam sebuah analisis juga terdapat unsur-unsur ekstrinsik karena mempunyai keterkaitan. Adapun unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel “Seandainya Aku Boleh Memilih” yaitu :
  1. Biografi  Pengarang
Awal karir Mira W sebagai penulis dimulai pada tahun 1975, ketika cerpennya yang berjudul Benteng Kasih. Pada tahun 1977 Novel pertama Dokter Nona Friska. Selain menulis Mira W juga menekuni profesi lain sebagai dokter dan staf pengajar di Perguruan Tinggi di Jakarta.  Buku-buku karya Mira W diantaranya :
·                      Sepolos Cinta Dini (Gramedia, 1978)
·                      Cinta TaK Pernah Berhutang (1978)
·                      Permainan Bulan Desember (1979, Gramedia 1999).
  1. Nilai - nilaiSastra
    Nilai-nilai sastra yang tersirat dalam novel ini adalah nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk menghargai karya orang lain.
  2. Nilai Moral
    Hendaknya kita harus mengalah kepada orang yang lebih lemah dari kita seperti yang dilakukan Haris dan Riri yang rela mengorbankan cintanya hanya untuk menyelematkan nyawa Bandi
  3. Nilai Agama
    Kita harus bersyukur atas apa yang telh diberikan oleh Tuhan seperti yang dilakukan oleh Bandi yang mensyukuri keadaan tubuhnya itu
  4. Nilai Sosial
    Rasa kebersamaan yang terjalin dapat merupakan suatu alasan untu memaafkan orang lain seperti dalam cerita ini dimana Bandi memaafkan kesalahan yang telah dilakukan Haris dan Riri
  5. Amanat
    Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Di dalam novel ini amanat yang dipergunakan adalah secara implisit yaitu pengarang mengemukakan pesannya secara tidak langsung. Jadi pembaca sendiri yang harus mencarinya (tersirat). Amanat dalam novel ini diantaranya :
  • Kita harus berbakti kepada orang tua
  • Kita harus mengendalikan diri kita atau hawa nafsu
  • Kita harus mengalah kepada orang yang lemah dari kita
  • Sebagai seorang istri kita harus berbakti dan menghormati suami
  • Kita harus mensyukuri atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan.



1 komentar:

abdul kholis mengatakan...

izin page yah guru